Oleh : Letare Arnaldo M

NIM : 0700637

Vietnam merupakan negara yang pertumbuhan ekonominya selalu tinggi dalam 10 tahun belakangan. Pada tahun 2007 pertumbuhan itu bahkan mencapai 8,5 persen atau yang tertinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonominya sebesar 7,5 persen. Bank-bank di sana juga tercatat paling agresif menyalurkan kredit akibat tingginya permintaan akan bahan bangunan dan material lainnya untuk sektor properti.

Perekonomian Vietnam berada dalam masa transisi dari ekonomi terpusat yang direncanakan murni berdasarkan pertanian ke pasar ekonomi sosialis. Seperti yang tertulis dalam karya Nirmala Ayu Nunggraini (2010), pada tahun 1986, Vietnam memulai pada sebuah reformasi ekonomi yang dikenal sebagai ‘Doi Moi’ yang membuka jalan bagi Vietnam. Pada dasarnya, reformasi ekonomi ini termasuk rencana yang diarahkan pada pengembangan pasar multi-sektoral, mereformasi perbankan, hukum, fiskal dan moneter sistem, mengendalikan inflasi dan anggaran nasional; dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menarik investasi, khususnya investasi langsung asing. Pertumbuhan tahunan dalam PDB rata-rata 8,2% untuk periode 1991-1995, dan pertumbuhan beberapa tahun ke depan diharapkan berada dalam kisaran 9-10%. Meskipun PDB per kapita masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, jelas ada potensi kuat untuk pertumbuhan dan investor asing telah berkelompok sejak proses reformasi dimulai.

Pertumbuhan produksi industri total telah melebihi 10% per tahun sejak tahun 1991. Oleh karena itu, industri dan konstruksi bersama-sama membentuk sekitar 30% pada tahun 1995, naik dari 23% pada tahun 1990. Demikian pula, sektor jasa telah berkembang menjadi 43% dari total PDB, naik dari 39% pada tahun 1990. Hal ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Vietnam bergeser dari pertanian menuju industri dan jasa.

Vietnam juga telah berhasil mengendalikan inflasi, yang telah turun dari angka tiga digit sebelum reformasi menjadi 5,2% pada tahun 1993, 14,4% pada tahun 1994 dan 12,7% yang diharapkan pada tahun 1995. Ini merupakan prestasi cukup signifikan dalam waktu singkat.

Pertumbuhan dalam perdagangan internasional Vietnam juga amat mengesankan. Hal ini dapat dilihat dari ekspor pada tahun 1994 total US $ 4050000000, yang mengalami kenaikan dari US $ 2,4 miliar pada tahun 1990, sedangkan total impor lebih dari dua kali lipat, dari US $ 2750000000 menjadi US $ 5830000000 pada tahun 1990 dan 1994. Pertumbuhan impor ini tentu saja didorong oleh permintaan atas barang modal, mengikuti aliran kuat dari investasi langsung asing.

Ekspor utama Vietnam adalah minyak mentah, tekstil dan garmen, beras, kopi, karet, batu bara, perikanan dan hasil olahan hutan. Meskipun produk pertanian masih mendominasi dalam daftar ekspor, hal ini akan berubah seiring usaha Vietnam memperluas basis industri nya. Dari segi produk impor, impor utama Vietnam adalah produk minyak bumi, baja, pupuk, elektronik, mesin dan peralatan.

Pada saat ini mitra dagang utama Vietnam adalah Jepang, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea dan Uni Eropa, dan perdagangan dengan negara Asia merupakan 80% dari total keseluruhan perdagangan. Sebelum tahun 1990, mitra utama Vietnam dalam perdagangan adalah negara-negara sosialis terutama Uni Soviet. Pada masa sekarang, Vietnam telah memperluas pasar di luar negerinya dengan mempromosikan industri berorientasi ekspor dan menempatkan penekanan pada substitusi impor barang-barang manufaktur.

Di sisi lain pertumbuhan ekonomi tinggi tak bisa dipungkiri telah memicu tumbuhnya kelas menengah di Vietnam. Kelas itu, kini bermunculan di Hanoi dan Ho Chi Minh, dua kota terbesar di Vietnam dan membelanjakan uangnya untuk menjemput kemewahan. Pada umumnya para remaja dan pemuda di Vietnam mulai menerapakan gaya hidup hedonis seiring mereka mencari gaya hidup modern. Sementara para wanitanya mulai menyukai membeli produk-produk dengan merek yang mendunia seperti Louis Vuitton, Bulgari dan Cartier. Louis Vuitton bahkan berencana meningkatkan gerainya di Hanoi sampai tiga lantai untuk mengantisipasi banyaknya pembeli. Hitungan itu dibuat berdasarkan jumlah pembeli yang mencapai 170 orang setiap minggu dengan nilai belanja US$ 5 ribu per orang

Pendapatan per kapita Vietnam memang hanya berkisar US$ 480 atau masih jauh lebih kecil dari pendapatan per kapita Indonesia yang mencapai US$ 830 atau Thailand yang sebesar US$ 1.987. Namun hampir setiap akhir pekan, gerai-gerai mebel dan elektronik di Hanoi penuh sesak dipadati pengunjung. Mereka datang bukan hanya sekadar untuk cuci mata, namun juga menghamburkan uang: membeli sofa kulit seharga US$ 2.500 atau televisi layar datar berukuran 50 inci seharga US$ 11 ribu.

Banyak faktor yang berperan untuk kenyataan konsumsi yang mencolok itu. Beberapa analis menghubungkannya dengan korupsi pemerintah dan booming di sektor properti. Namun tumbuhnya sektor swasta dalam empat tahun terakhir, telah menyulap banyak keluarga di kota-kota besar mempunyai lebih banyak uang dibanding masa sebelumnya. Banyak dari kekayaan mereka yang tak terdata dan terbebas dari pajak.

Kalkulasi yang dibuat oleh Bank Dunia pada 2002, juga mengejutkan. Di dua kota besar itu, setiap US$ 1 yang dibelanjakan penduduknya berharga lima kali lebih besar dibanding nilai yang sama yang digunakan di Amerika. Dengan kalimat lain, setiap empat orang di Hanoi dan Ho Chi Minh sebenarnya telah membelanjakan US$ 20 ribu pada tahun itu.

Apa yang terjadi di Hanoi dan Ho Chi Minh memang terasa timpang jika dibandingkan dengan daya beli sebagian besar penduduk Vietnam yang tinggal di pedesaan, karena setiap empat penduduk pedesaan hanya membelanjakan US$ 2.500 atau delapan kali lebih kecil. Pertumbuhan ekonomi tampaknya memang selalu menciptakan jarak antara yang miskin dan kaya. Masalahnya menurut hitungan Bank Dunia, jarak itu masih belum selebar ketimpangan yang terjadi di Cina. Karena di Vietnam, meskipun sedikit, penduduk desanya juga mulai menikmati kemakmuran. Mereka juga diuntungkan dengan kiriman dari keluarga mereka yang bekerja di Hanoi dan Ho Chi Minh.

GAMBARAN TEORI MODERNISASI

Perspektif teori Modernisasi Klasik menyoroti bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara modern. McClelland menyarankan agar Dunia Ketiga mengembangkan dirinya untuk memiliki nilai-nilai kebutuhan berprestasi yang dimiliki Barat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kaum wiraswasta modernnya. Artikel diatas, menggambarkan keinginan kuat masyarakat untuk mengadaptasi nilai-nilai “gaya hidup” Barat sebagai identitas modernnya. Secara kasat mata dapat dikatakan telah terjadi proses homogenisasi budaya dunia. (fastfood) dengan hanya mencontoh (akulturasi) atau melakukan “cultural borrowing” (westernisasi). Hal ini sejalan dengan aliran pemikiran yang berakar pada perspektif fungsionalisme maka aliran modernisasi memiliki ciri-ciri dasar antara lain: ”Sumber perubahan adalah dari dalam atau dari budaya masyarakat itu sendiri (internal resources) bukan ditentukan unsur luar”.

Modernisasi pada artikel diatas digambarkan tidak hanya menyentuh wilayah teknis, tetapi juga menyentuh nilai-nilai, adanya karakteristik ditemukan sebagian dari ciri-ciri manusia modern sebagaimana menurut Alex Inkeles (1969-1983) dalam teorinya “Manusia Modern”, yaitu :

o Sikap membuka diri pada hal-hal yang baru.

o Tidak terikat (bebas) terhadap ikatan institusi maupun penguasa tradisional.

o Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan

o Menghargai ketepatan waktu

o Melakukan segala sesuatu secara terencana

Bila dalam teori Modernisasi Klasik, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam teori Modernisasi Baru, tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan. Sebagaimana digambarkan pada artikel tersebut, masyarakat tradisional Vietnam pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi” serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan inetrnal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya. Teori ini merumuskan implikasi kebijakan pembangunan yang diperlukan untuk membangun Dunia Ketiga sebagai keterkaitan antara negara berkembang dengan negara maju akan saling memberikan manfaat timbal balik, khususnya bagi negara berkembang. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa teori Modernisasi, baik klasik maupun baru, melihat permasalahan pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.

Daftar Pustaka

Ensiklopedia Indonesia seri geografi, edisi baru (Asia)

Skripsi:

Nunggraini, Nirmala Ayu. 2010. Perubahan Ekonomi Vietnam Menuju World Trade Organization (WTO). Universitas Muhammadiyah Malang

Internet

  • Rusdi GoBlog, Melihat Ekonomi Vietnam.

http://rusdimathari.wordpress.com/2008/02/03/melihat-ekonomi-vietnam/